DONGENG PENUNGGU SURAU
Karya : Joni Ariadinata
ADZAN menyilet. Menyapa pintu-pintu.
Menembus daun trembesi, ladang, lembah-lembah, orang-orang sibuk. Dan para
petani itu. Perempuan-perempuan di kali, penyabit rumput, menyusui anak. Ada matahari
terik. Ada lesung ditalu, bertalu-talu; suara paku dipalu pertanda kerja,
sapi-sapi dihalau para gembala. Tertawa. Gembira.
“Gusti”, Muadzin Ali mendehem. Menatap
Imam Mathori takjub, memandang jendela. Menunggu sesuatu.
“Tak ada yang datang. Apakah speaker di surau ini kurang keras
memanggil mereka, Ali?”
“Musim tanam selalu membuat
seluruh kampung sibuk. Seperti biasa. Lelaki dan perempuan. Bahkan anak-anak. Jangankan
surau, bahkan sekolah selalu kosong.” Tersenyum. Berseloroh.”Maaf, Guru Brojol
yang menceritakan hal itu kemarin sore.”
Katanya. Jadi sunyi. Imam Mathori
terpaksa tertawa, lantas murung. Ada gurat tak jelas ketika ia meludahkan batuk keras ke luar
jendela, “Bahkan tak ada waktu untuk Tuhan. Begitu katanya?” tiba-tiba. Muadzin
Ali mengangguk, tersentak.
“Barangkali musim panen
mereka akan ingat. Kita hanya bisa
berharap, bukankah begitu?”
“Selalu,” Imam Mathori mengusap
muka, menandaskan, “Adzan lah sekali lagi, Ali! Waktu sudah hampir habis…”
Menatap jam. Merapihkan serban dan kopiah. Batuk.
Melengking. Suara Ali memanggil, suara adzan menembus atap
menyayat dan berirama. Kembali lantang. Menuju lembah, sawah, menyeruak
rumah-rumah, jendela-jendela: menyapa orang-orang yang tetap sibuk bekerja. Anak-anak
rebut-riuh berkeliarantanpa dosa di pematang. Perempuan-perempuan bebal
menenteng rantang suami,
ayah, buyut, saudara. Orang hidup harus kerja. Harus makan.
Lenguh sapi dipanggang matahari,
menapak kaki-kaki basah di tanah, penuh lumpur, harapan, penuh nyanyian, gairah
hidup. Makan! Hidup! Makan! Sedang Imam Mathori berdiri sunyi di mimbar
menyampaikan khotbah Jum’at dengansetumpuk kisah tentang dosa. Tentang dunia,
akherat dan neraka. Tak ada yang mendengar. Hanya Ali, lantas dua orang lelaki
udzur tertatih datang di pintu masuk: dialah Lebai Otok Sukatno Gendut dan Wak
Haji Besut. Hanya itu.
Dua jamaah tua paling rajin, yang
bertobat padsa beberapa bulan terakhir, tetapi nyaris selalu datang di surau
paling akhir. Tak apa Khusnul Khotimah
lebih baik, begitu agama ini mengajarkan. Pelan-pelan. Tak ada pilihan, bukan
begitu? Ini bukan jaman khalifah Umar, dimana pedang bisa dijadikan penggaris
untuk merapikan jamaah. Juga tidak hidup di jaman Rasulullah, dimana setiap
jamaah yang mangkir dari mesjid akan ditanya. Bahkan Imam Mathori berkali
menyeru, gagal, ---tak bisa memaksa. Setiap manusia punya pilihan sendiri, dan
Tuhan tak akan merubah suatu kaum tanpa dia berkehendak. Jadi taka pa.
Begitulah Imam Mathori jadi
sedih. Bisik-bisik. Khotbah diakhiri dengan linangan air mata. Mukanya tengadah,
menantang langit-langit, menutup mulut lewat doa: “Kita berdoa untuk
saudara-saudara kita. Amin…”
Sembahyang
wajib dua rakaat. Sunyi. Di luar cangkul-cangkul masih didentangkan, pecut
sapi-sapi berteriak minta dirumputkan. Keringat tumpah. Tertawa, bekerja, dan
bernyanyi. Jam satusiang memandang angkasa. Saatnya perut manusia diisi tiwul,
gaplek, nasi. Wajib. Manusia pasti mati jika tak makan. Demi Tuhan! Para perempuan
itu, para lelaki, anak-anak mengunyah-ngunyah mulut. BErkeciplak-keciplak. Bersama-sama
sapi, tentu. Kambing itu. Ayam-ayam di kampung. Juga bebek. Tikus, ular sawah. Sedang Tuhan, dimanakah
Tuhan? Lalu apa bedanya kambing, sapi, bebek, ayam, tikus, dan mereka. Tak usah
peduli.
Empat bulan Gusti Allah dengan
mudah menumbuhkan biji-biji yang ditebar; menganugerahkan air, angin, matahari
dan tanah; mengatur kesuburan hingga
aroma padi kuning dalam keharuman membentang. Saat panen tiba. Empat bulan
orang-orang kampunbg letih menunggu. Datang pagi banting tulang, pulang petang
tidur mekangkang. Dan sebagian bikin
anak. Selalu begitu.
Dan Muadzin Ali, pada saat
semacam itu, terlihat bercahaya di muka surau. Yaitu pada Jumat ke sekian
---entah. Di tepi Rumah Tuhan yang selalu sepi. Menunggu jamaah. Seperti biasa.
“Kalau begitu, panggilah meraka,
Ali. Hari Jum’at, saatnya sembahyang,” Imam Mathori menukas. “Mereka harus
bersyukur. Wajib bersyukur. Adzanlah dengan baik, seperti Bilal di jaman
Rasulullah. Segera, Ali! Aku sudah tak sabarbmelihat surau ini penuh. Ratusan jamaah!
Keraskan volume speaker sampai habis.
Mudah-mudahan kali ini mereka tergerak. Toh panen taya telah tiba. Panen yang
subur, di tanah yang gembur, pada rezeki mereka yang makmur! Ya Allah!.”
Berjingkat Muadzin Ali berbenah. Seperhentak
kemudian suaranya lantang menyilet langit. Memekik. Gemetar ia dalam syukur dan
takzim. Sedang Imam MAthori tetap berdiri di pintu. Dari jauh lamat langklah
dua orang tertatih masuk: Lebai Otok Sukatno Gendut dan Wak Haji Besut.
“Alhamdulillah, kemarilah! Dua hamba Allah. Kalian yang
pertama memenuhi panggilan Muadzin. Beruntunglah. Hei, di mana yanglain?”
Muadzin Ali lelah melongok. Berkali-kali.
Sayu jam. Waktu merayap dan surau tetap sepi. Imam Mathori bangkit, bosan,
sedang Lebai Otok Sukatno Gendut berdzikir. Terlihat Wa Haji Besut sembahyang
sunnat. Khusuk. Wajahnya bening.
Lama menunggu, detak jam
berputar. Tiba-tiba:”Gusti”, Imam Mathori menuding, “Kau lihat di pintu, Ali! Aku
mendengar suara rebut orang di luar. Barangkali mereka yang datang. Tuhan Maha
Besar!”
Benar. Orang-orang rebut. Dari rumah-rumah,
di jalan-jalan. Para lelaki, perempuan, anak-anak. Dengan langkah tergesa
berduyun-duyun. Menyongsong langkah, di depan surau! Bersorak-sorak: Menyayi. Cangkul-cangkul,
sabit, bakul, keranjang, bahkan gerobak. Ya Tuhan, “Kemarilah saudara! Heiiiii ….
Datanglah kemari. Bersyukurlah di rumah Tuhan. Kalian…”
Terhenti berkoar. Muadzin Ali
melongo. Ajaib. Apakah itu? Benarkah yang ia pandangi? Heh!! Cangkul-cangkul
itu, sabit itu, keranjang itu, bahkan gerobak. Astagfirullah! Wajah berkerut suci ternganga, “Kemarilah Kiai!” Dia
jadi berteriak memanggil Imam. Terbadai. “Serombongan orang ramai-ramai
berangkat, berhamburan menuju ke sawah! Mereka tidak hendak ke masjid. Surau milik
Tuhan. Tapi mereka hendak bekerja, menuai padi. Ya Allah…”
Letih. Tak ada musim panen tak
ada tanam. Semua sama. Orang-orang begitu sibuk. Tak pernah berhenti. Wajah Imam
Mathori tiba-tiba berubah menjadi bening, ikhlas: “Allah yang berkehendak
menutup pintu kasih sayang. Mencabut ilmu. Engkau tahu, Ali, sekaranglah
tanda-tanda itu telah dimulai. Apakah artinya? Kini aku ganti bertanya: setelah
kita berempat mati, siapakah yang rela berpayah memanggil mereka untuk datang
ke surau, Ali? Mengajari anak-anak mereka mengaji. Jawablah.”
“Tak ada ilmu agama, Kiai? Tentu tak
perlu ilmu. Tak butuh agama. Mereka telah membunuh Tuhan. Dengan bengis. Karena
yakin hidup ini abadi. Tidak akan mati.”
“Bagus! Nah, sekarang tutup pintu
surau. Adzanlah sekeras mungkin, seperti Bilal di zaman Rasulullah. Aku ingin
mereka tetap mendengar, Ali. Meskipun mereka tidak mendengar. Adzanlah! Sekali lagi,
keraskan suaramu. Meskipun sekeras apapun suaramu, mereka tetap tuli….” Diam. Tersedak.
Sunyi. Kemudian suara adzan melengking. Seperti terompet Israfil. Menyilet langit:
menembus bumi! ***
Yogyakarta, 1997
1 komentar:
tragis, ini dongeng tapi terasa nyata.
Posting Komentar